Suatu ketika saat repat evaluasi rutin sesudah mengajar, kami dibuat tercengang oleh laporan salah satu pengajar kelas 1. Dia menceritakan sebuah kisah lucu, yang tapi terasa mengiris-ngiris hati dan menbuat para pengajar, khususnya saya, gelisah hingga saat ini.
Sang pengajar tersebut, bernama Arifin, seorang dokter hewan yang kebetulan sedang senggang dan baru sekali datang untuk mengajar adik-adik Terminal Hujan, ditugaskan untuk mengajar kelas 1. Saat itu, dia mencoba mengajarkan konsep penjumlahan sederhana kepada siswa-siswi kelas 1 SD (di Terminal Hujan, kami membagi kelompok belajar menurut kelas akademik di sekolah). Dikarenakan sangat sederhana, Kak Arifin dengan sengaja membolak-balik angka untuk mengetahui sejauh mana adik-adik paham dengan konsep penjumlahan yang telah diajarkan. Di sinilah letak kelucuan itu terjadi. Saat Kak Arifin mencoba berdialog dengan salah satu anak, yaitu Obi.
Arifin : “1 + 2 sama dengan berapa?”
Obi : *menghitung dengan jarinya* “3 kak!!”
Arifin : “Pintar! Sekarang 2 + 1 berapa?”
Obi : *memejamkan mata, berpikir keras *gagal menjawab
Obi : *menghitung dengan jarinya* “3 kak!!”
Arifin : “Pintar! Sekarang 2 + 1 berapa?”
Obi : *memejamkan mata, berpikir keras *gagal menjawab
Sontak kami semua tertawa terbahak-bahak saat Arifin melaporkan hasil pengajarannya hari itu, namun saya merasa seperti teriris sembilu. Dalam hati saya “Ya ampun, itu angka tinggal dibalik gituh? Belum mengertikah mereka dengan konsep ini??”. Pikiran tersebut pada akhirnya membuat saya berpikir kembali merefleksikan pengalaman-pengalaman saya, teman, dan saat saya menjadi pengajar. Ya. Kenapa siswa-siswi kita, bahkan mahasiswa masih terjebak dengan pola menghafal? Sepertinya menghafal adalah sudah keharusan kalau mau mendapat nilai baik. Belajar memiliki makna mengerti, memehami, dan mengimplementasi, bukan hanya memorisasi fakta dan konsep.
Jangan salahkan guru dan orangtua yang megajarkan anak sehingga hafalan sudah mendarah daging, sistem pendidikan kita sejak dulu seperti itu, sehingga timbul banyak generasi-generasi penghafal dengan beban pelajaran yang banyak. Yang lebih menyedihkan lagi, coba tanya mereka apa makna Luas dan Keliling? Atau konsep-konsep sederhana seperti makna perkalian. Dijamin, bagi adik-adik, khususnya yang belum bisa menikmati pendidikan yang sesungguhnya, akan menggeleng dan memejamkan mata seperti Obi.
Lalu siapa yang bertanggung jawab bagi kelangsungan pendidikan mereka?
Kita.
Siapa lagi?
Salam Terminal Hujan!
Juga dimuat di: http://www.klikhati.com/blogs/21/
No comments:
Post a Comment